Minggu, 02 Agustus 2009

Agama (Al-Diin)

AGAMA
Al-diin, Religi (relegere, religare), dan agama (Al-Diin) (Semit) berarti undang-undang atau hukum.
Dalam bahsa arab Al-Diin berarti mengurai, emnundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan.
Dalam bahasa Latin, Religi (regere) berarti mengumpulkan dan membaca, religare berarti mengikat.
Secara etimologi agama berasal dari kata "A" dan "Gam". "A" berarti tidak sedangkan "gam" berarti pergi jadi agama itu adalah tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun. (Harun Nasution, 1974:9-10)

Intisari dari agama itu sendiri adalah "IKATAN".
Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan tersebut berasal dari siatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra, namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari. (Harun Nasution 1074: 10)
Dari uraian i atas sangat jelas bahwa agama itu adalah sebuah aturan yang mengikat manusia supaya patuh terhadap satu kekuatan yang sangat berpengaruh terhadap manusia.
Kekuatan itu adalah kekuatan Ilahi Robbi, pencipta alam raya beserta Isinya yang saat ini kita tempati.
Agama ada sebagai aturan bagi manusia agar manusia tetap pada jalur yang benar sesuai dengan apa yang telah disyariatkan. dengan agama, hidup manusia akan lebih terarah karena semua aturan itu telah ada dalam Al-Quran dan As-sunah yang menjadi pedoman hidup manusia.

RIBA

RIBA

1. Pengertian
Riba menurut bahasa berarti al-ziyadah (tambahan). Menurut istilah, riba dalah suatu bentuk tambahan pembayaran tanpa ada ganti / imbalan sebagai syarat terjadinya transaksi hutang piutang atau pinjam meminjam. (Mundzier Saputra, 2007 : 192)
Dalam Moh. Rifa’i (1978 :410 ), dikatakan bahwa riba secara bahasa berarti lebih atau bertambah sedangkan menurut syara’ adalah akad yang terjadi dalam penukaran barang-barang yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’
Kata ar-ribâ secara etimologis (bahasa) mempunyai konotasi az-ziyâdah (pertambahan); rabâ as-syay’ artinya zâda ‘ammâ kâna ‘alayhi, bertambah dari kuantitas sebelumnya
Menurut Syar’i riba adalah pertambahan akibat pertukaran jenis tertentu, baik yang disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majlis at-tabâdul).
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan ribâ, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa ribâ adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil. (Qs. An- Nisâ’ [4]: 29).

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:
“Pengertian ribâ secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud ribâ dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.” (http://ronaldpputra.multiply.com/journal/item/6/Riba_Dalam_Pandangan_Islam_-_M._Harun_Al-Rasyid_Ramadhana)
Dengan demikian terjadinya transaksi utang – piutang dikarenakan adanya syarat tambahan, bila syarat tidak terpenuhi maka transaksi tidak terjadi, tambahan pengembalian hutang dari pokok pinjaman tersebut yang disebut riba.

2. Hukum Riba
Adapun yang menjadi dasar hukum riba tersebut adalah Q.S Al-baqarah : 275,276 dan 278.
" Wa Ahallahul bai'a waharramar Riba"

Artinya : ”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al-Baqarah-175)

Artinya : ”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (Q.S. Al-Baqarah: 276)
” Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allahdan tinggalkanlah sisa riba (yang belum diambil), jika kamu benar-benar orang yang beriman (Q.S. Al-baqarah : 278).

Dari uraian ayat di atas sangat jelas bahwa hukum riba adalah haram. Pada dasarnya memberikan hutang dengan syarat adanya tambahan, pada hakekatnya merupakan praktik eksploitasi (pemerasan) si kaya kepada si miskin bukan ditolong tapi justru sebaliknya yaitu diperas. Praktik riba ini bisa mengakibatkan bahaya yang sangat besar, oleh karena itu Islam mengharamkannya. Dan hal ini merujuk kepada dalil-dalil yang tersebut di atas.

3. Macam-macam Riba
Ada beberapa macam riba yang biasa dikenal dalam kehidupan bermasyarakat antara lain:
1) Riba Fadhi (Fadluli = lebih), yaitu menukarkan 2 jenis barang yang kwantitasnya sama tetapi kwalitasnya berbeda.
2) Riba Qardh, yaitu menarik keuntungan dari barang yang dipinjamkan atau dihutangkan.
3) Riba Yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Orang yang membeli suatu barang, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari sipenjual, tidak boleh menjualnya kepada siapapun, sebab barang yang dibeli dan belum diterima masih dalam ikatan jual beli yang pertama, belum manjadi milik yang sebenarnya bagi pembeli/si pemilik.
4) Riba Nasa’ (Nasi’ah) yaitu riba yang terjadi karena adanya penundaan waktu pembayaran, dengan menetapkan adanya dua harga yaitu harga kontan atau harga yang dinaikkan karena pembayaran yang tertunda.

4. Hikmah dilarangnya Riba
Dasar hukum dari riba adalah haram, dibalik semua itu pasti ada hikmah yang terkandung. Adapun hikmah dari riba adalah sbagai berikut:
1) Riba dapat mengikis sifat belas kasih dan rasa kemanusiaan serta dapat menimbulkan permusuhan antar sesama manusia.
2) Riba dapat memupuk sifat enak sendiri, mementingkan diri sendiri, dan memperkaya diri tanpa upaya yang wajar, rela melihat orang lain menderita, sifat seperti ini sangat tidak disukai oleh Allah.
3) Riba dapat menjauhkan diri dari Allah, sebab Allah tidak menyukai perbuatan maksiat dan tidak berperikemanusiaan.
4) Riba sebagai salah satu bentuk penjajahan manusia terhadap manusia lainnya.

Isi Kandungan Q.S Al-Mujadalah : 11

A. Penjelasan Al-Quran Surat Al-Mujadalah:11
Surat Al-Mujadalah:11 menerangkan tentang etika (sopan santun) bila berada dalam suatu majlis dan kedudukan orang yang beriman, serta orang yang berilmu pengetahuan.
Dalam buku pembelajaran Al-Quran Hadits (2007:5)dan Tafsir Al-Mishbah Volume 14 (2002:11), dijelaskan bahwa Surat Al-Mujadalah ini turun pada hari jum’at. Ketika itu Rasul berada di satu tempat yang sempit (Shuffah) dan menjadi kebiasaan bagi beliau memberikan tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung datanglah beberapa orang sahabat yang mengikuti perang Badr. Kemudian datang pula yang lainnya. Mereka yang baru datang memberi salam, dan Rasulpun serta sahabat menjawab salam tersebut. Tapi mereka yang telah datang lebih dahulu (yang sudah duduk) tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya, sehingga mereka yang baru datang berdiri terus. Maka Nabi SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi SAW. Perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini yang digunakan oleh kaum munafik untuk memecah belah dengan berkata : ”Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: ”Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi sandaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di ataspun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu. Hal ini juga diperjelas dalam Asbabun nuzul (2001:549).
Apa yang dilakukan Rasul terhadap para sahabat dikenal juga dalam pergaulan internasional seperti istilah peraturan protokoler, dimana orang-orang terhormat memiliki tempat-tempat yang terhormat disamping Kepala Negara, hal ini sebagimana tertuang dalam Quran Surat An-Nisa :95

Artinya : ”Tidaklah sama antara mu’min yang duduk-selain yang mempunyai uzur-dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan diri mereka atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang besar (Q.S An-Nisa : 95).
Adapun bebrapa hal yang bisa diperoleh dari Quran surah Al-Mujadalah: 11 ini antara lain :
1. Etika Dalam Majlis
Etika dalam majlis ini maksudnya adalah bahwasanya ketika berada dalam suatu majlis, hendaklah kita memberikan kelapangan tempat duduk bagi yang baru datang. Dalam buku pembelajaran Al-Quran Hadits dikatakan bahwasanya yang sempit itu bukanlah tempatnya melainkan hatinya. Tabiat manusia yang mementingkan diri sendiri, membuat enggan memberikan tempat kepada orang yang baru datang, jadi dalam hal ini hati sangat berperan.
Berangkat dari kata ( ) Tafassahu dan ( ) Afsahu terambil dari kata ( ) Fasaha yakni lapang. Sedang kata ( ) unsyuzu terambil dari kata ( ) nusyuz yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah. (Quraish Shihab 2002 : 79)
Kembali kepada kata nusyuz yang artinya berdiri atau fansyuzu yang berarti berdirilah, kata tersebut mengisyaratkan untuk berdiri, maka berdirilah. Artinya apabila kita diminta untuk berdiri dari majlis Rasulullah, maka berdirilah. Hal ini yang kemudian menajdi pedoman umum, apabila pemilik majlis (protoloker) menyuruh berdiri, maka berdirilah, karena tidak layak apabila orang yang baru datang meminta berdiri orang yang telah datang terlebih dahulu dan duduk ditempat orang itu. Sabda Nabi :

Artinya : ” Janganlah seseorang menyuruh berdiri kepada orang lain dari tempat duduknya, akan tetapi lapangkanlah dan longgarkanlah.
Kata Majalis ( ) adalah bentuk jama’ dari kata ( ) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non muslim sekalipun, jika anda ( yang muda) duduk di bus, kereta sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan beradab jika anda berdiri untuk membri tempat duduk. (Quraish Shihab 2002 : 79).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasanya sebagai orang yang beriman kita (manusia) harus melapangkan hati demi saudaranya yang lain. Dengan kita memberikan kelapangan kepada orang lain, maka ” niscaya Allah akan melapangkan bagimu”. Artinya karena hati telah dilapangkan terlebih dahulu menerima sahabat, hati kedua belah pihak akan sama-sama terbuka dan hati yang terbuka akan memudahkan segala urusan.
Jadi sekurang-kurangnya etika dalam suatu majlis adalah memberikan kelapangan tempat duduk, maka dengan demikian Allah juga akan melapangkan pula bagi kita pintu-pintu kebajikan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana. Sabda Nabi :
Artinya : ”Allah akan menolong hamba-Nya, selama hamba itu mau menolong sesama saudaranya. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
2. Manfaat beriman dan berilmu pengetahuan
Selanjutnya dalam ayat tersebut dijelaskan ” Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu, dan orang –orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Artinya ada orang yang akan diangkat derajatnya oleh Allah, yaitu orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan, dengan bebrapa derajat.
Orang yang beriman dan berilmu pengetahuan akan menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana. Iman dan ilmu tersebut akan membuat orang mantap dan agung. Tentu saja yang dimaksud dengan ( ) / yang diberi pengetahuan. Ini berarti pada ayat tersebut membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar berimnan dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajatrannya kepada pihak lain baik secara lisan, tulisan maupun dengan keteladanan. (Quraish Shihab 2002:79-80)
Kita bisa saksikan, orang-orang yang dapat menguasai dunia ini adalah orang-orang yang berilmu, mereka dengan mudah mengumpulkan harta benda, mempunyai kedudukan dan dihormati orang. Ini merupakan suatu pertanda bahwa Allah mengangkat derajatnya.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan jika ilmu tersebut dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.. tetapi jika pengetahuan yang dimiliki tersebut hanya digunakan untuk mencelakakan atau membahayakan orang lain maka hal tersebut tidak dibenarkan.
Jadi antara iman dan ilmu harus selaras dan seimbang, sehingga kalau menajdi ulama, ia menjadi ulama yang berpengetahuan luas, kalau ia menjadi dokter, maka akan menajdi dokter yang yang beriman dan sebagainya.
Pada akhir ayat juga dijelaskan bahwasanya Allah itu selalu melihat apa yang kamu kerjakan, jadi tidak ada yang samar dihadapan Allah. Dan Allah akan mebalas semua apa yang kita kerjakan. Orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan yang jahat akan dibalas sesuai dengan kejahatannya.

3. Contoh semangat keilmuan
Adapun yang dapat dijadikan sebagai contoh dari semangat keilmuan adalah:
1) Rasulullah itu sendiri merupakan contoh teladan yang tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu, Beliau senantiasa membaca dan menimba ilmu dari alam rasa dan yang semuanya bersumber dari Allah SWT.
2) Apabila ada suatu majlis maka bergabunglah karena pasti disana akan didapatkan suatu pengetahuan baru yang akan emnambah wawasan dan referensi sehingga kita dapat mengaplikasikan apa yang didapatkan. Seperti contoh sahabat Nabi yang pulang dari medan perang. Beliau tetap bergabung dalam majlis ilmu yang dilaksanakan oleh Nabi. Dalam dunia kita saat ini yaitu seringlah mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang peduli dengan bidang-bidang keilmuan.
3) Ikutilah jejak para tokoh-tokoh agamawan, ilmuan, tokoh pemikir yang selalu berupaya untuk menciptakan iklim yang baru sehingga saat ini kita dapat menikmatinya dan dimasa mendatang.
Dari ketiga contoh diatas masih banyak lagi contoh-contoh yang lain yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi seperti kita yang saat ini tengah duduk diantara teman-teman kita, ini juga merupakan contoh dari semangat keilmuan. Tentunya menjadi renungkan sebuah hadits yang menyuruh kita untuk menuntut ilmu walau sampai ke negeri Cina yang berbunyi :

Artinya : ”Tuntutlah ilmu walau sampai kenegeri cina.”
Dan menuntut ilmu juga merupakan kewajiban bagi manusia dalam rangka menngenal Sang Pencipta, mengenal alam dan mengenal sesama.